Menciptakan Ketertiban Politik
20 jam lalu
Masyarakat Indonesia tampak masih memiliki jiwa ketertiban politik.
***
Cendekiawan muslim yang kini aktif di organisasi kemasyarakatan Islam Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar Abdalla menulis argumentasi dan perspektifnya mengenai sebuah topik yang bicara tentang ketahanan politik kita (Kompas, 28 Agustus 2025).
Dalam tulisannya, Ulil mengafirmasi tulisan Djayadi Hanan yang membahas ketahanan demokrasi.
Meski demikian, saya cukup tertegun oleh pandangan Ulil yang mengatakan bahwa sejumlah intelektual dan pengamat domestik cenderung menunjukkan “kemurungan politik” atas kemunculan otoritarianisme lama.
Sebelumnya, ia memiliki pandangan yang serupa dengan para intelektual dan pengamat tersebut. Namun, saat ini, pandangannya telah berubah - sebagaimana yang Ulil sampaikan.
Sistem demokrasi di Indonesia dinilai sudah membaik karena terekam pada trust publik dan para elite terhadap demokrasi yang cukup membesar.
Oleh karena itu, Ulil menilai sebagai sebuah bangsa yang besar, sistem politik kita tidak bisa kembali ke sistem otoritarianisme.
Meski begitu, pandangan baru yang disampaikan Ulil tampaknya tidak koheren terhadap imajinasinya Plato tentang sebuah negara yang ideal yang bisa dipimpin oleh aristokrat.
Pada dasarnya, untuk menciptakan negara yang ideal tentu tidaklah mudah, melainkan akan dihadapkan pada kasak-kusuk politik yang seringkali meresonansi di palagan politik, baik dalam skala nasional, regional, maupun lokal.
Dewasa ini, terutama muncul adanya gejala kepemimpinan politik yang mengarah kepada otoritarianisme lama di negara demokrasi, terutama Indonesia.
Sebab, sifat manusia yang sedang berada pada kekuasaan politik memiliki kecenderungan untuk melahirkan praktik korup, manipulatif, dan penyalahgunaan kekuasaan, terlebih jika kekuasaan tanpa kontrol, meniadakan atau bahkan mengalienasi gerakan oposisi atau dalam bahasa lain tidak adanya check and balances.
Secara faktual, praktik tersebut bisa ditemukan dalam tata kelola pemerintahan, misalnya, formulasi kebijakan yang tidak melibatkan partisipasi publik sekaligus tidak mengindahkan harapan publik.
Imbasnya, tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan cenderung fluktuatif. Para elite politik seringkali mengakomodasi kepentingan politiknya, termasuk para pemilik modal yang sudah berjasa pada pergulatan politik pada proses elektoral di Indonesia.
Hal tersebut tidak memiliki garis equivalen dengan prasyarat demokrasi yang mengandaikan perlunya partisipasi, kebebasan sipil, dan kesetaraan politik.
Dengan kata lain, sistem politik tampak demokrasi dari luar, namun mengarah ke praktik otoritarianisme lama. Dengan demikian, pandangan ini selaras terhadap pandangan Plato bahwa sistem politik dan pemerintahannya akan selalu berubah atau melingkar.
Berubahnya sistem ini tentu seperti sebuah siklus evolusi, di mana sebelumnya dipimpin oleh seorang aristokrat kemudian berubah menjadi timokrasi.
Kemudian, saat berada pada fase timokrasi inilah akan lahir aktor-aktor politik yang mencoba merebut kekuasaan dengan skema politik.
Selain itu, saat kuasa politik diperoleh - pada umumnya, terutama dalam konteks Indonesia ada semacam untuk mengkultuskan para pejabat pemerintahan yang memiliki berbagai aksesibilitas politik, termasuk fasilitas mewah yang diterimanya.
Biasanya, saat para pejabat pemerintahan masih menikmati dan merasa belum memiliki rasa kepuasan secara penuh, akan mencari sumber-sumber kekuasaan lainnya yang juga bisa menjalin kerjasama politik dengan para pemilik modal, seperti para pengusaha atau para pedagang kelas atas atau dalam pandangan Winters (2011) disebut sebagai oligarki. Hal ini lumrah ditemukan, karena manusia memiliki sifat yang serakah dan rakus.
Akibatnya, keputusan-keputusan politik mutakhir juga didominasi oleh kepentingan para kapital yang cenderung mengabaikan partisipasi publik di dalamnya. Sebagaimana rumusan politiknya yang dibahas secara terburu-buru, tertutupnya akses informasi dan tidak memiliki inklusivitas terhadap publik.
Padahal, publik berhak menerima aksesibilitas tersebut, karena pemerintah dipilih oleh publik, terlebih para politikus di parlemen yang merepresentasikan masyarakat sudah semestinya dapat mendengar kegelisahan publik.
Munculnya berbagai gerakan politik untuk menentang keputusan politik pemerintah karena keputusan politik yang tidak berpihak kepada kepentingan politik, melainkan hanya sekadar untuk para elite politik semata seperti wacana kenaikan tunjangan terhadap anggota DPR, kenaikan pajak, lesunya pertumbuhan ekonomi akibat hutang yang menumpuk dan sederet masalah lainnya, sekaligus mengafirmasi ketidakberdayaan lembaga parlemen dalam memformulasikan kebijakan politik.
Sebab, lembaga parlemen seperti DPR tampaknya saat ini masih menjadi ‘stempel’ kekuasaan eksekutif, terutama saat adanya koalisi besar yang mendukung pemerintahan.
Saat kegelisahan publik muncul dan pada saat yang bersamaan terekspresikan secara langsung di ruang publik membuat pemerintah cukup khawatir, karena akan menggerus legitimasi politik rezim kekuasaan.
Pandangan Ulil tentang Indonesia tidak akan kembali ke otoritarianisme lama juga bersifat kontradiktif terhadap praktik kekuasaan saat ini, di mana para elite politik selalu mengatakan tidak ada oposisi dalam demokrasi, melainkan penyeimbang kekuasaan semata.
Sikap politik ini tercermin pada rezim kekuasaan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang didukung oleh mayoritas partai politik, termasuk di parlemen sekaligus secara implisit adalah PDI-Perjuangan.
Meskipun, partai berlambang banteng ini dinilai berada pada posisi sebagai penyeimbang kekuasaan. Namun, sikap politiknya tidak secara konsisten berada pada penyeimbang kekuasaan, melainkan mendukung kebijakan pemerintahan.
Saat rezim Orde Lama, misalnya, dengan konsep Demokrasi Terpimpin - di mana ada upaya mengakomodasi kepentingan seluruh entitas politik yang ada, termasuk saat rezim kekuasaan Orde Baru dengan Demokrasi Pancasila yang meniadakan gerakan oposisi.
Keruntuhan kekuasaan Orde Baru juga disebabkan, salah satunya oleh kejenuhan publik atas situasi politik yang tidak mencerminkan kebebasan sipil, partisipasi, dan kesetaraan politik, sebagaimana disampaikan oleh Dahl, terutama para aktor politik saat bergulirnya reformasi politik tidak secara ekstensif memudar, melainkan bertambah adaptif saat proses demokratis saat ini.
Jadi, wajah-wajah politik otoritarianisme lama akan selalu muncul dalam arena politik, terlebih demokrasi, karena demokrasi lebih membuka kans politik para aktor politik tersebut.
Meskipun, ada upaya-upaya untuk meniadakan demokrasi, sebagaimana yang telah dibahas oleh para sarjana politik.
Saya menulis ketertiban politik ini merujuk pada tertibnya masyarakat di Indonesia saat dinamika politik yang melanda tetap berada pada modelnya, terlebih heterogennya masyarakat di Indonesia yang terdiri atas ras, agama, suku, budaya, dan bahasa.
Kohesivitas yang dimiliki masyarakat ini menjadikan posisi Indonesia secara demokrasi masih tetap dipercaya sebagai sebuah sistem yang baik. Meskipun, secara tren indeks demokrasinya mengalami penurunan.
Namun demikian, masyarakat Indonesia tampak masih memiliki jiwa ketertiban politik yang besar, jika tidak adanya intervensi dan pengaruh pembangunan opini publik yang diorkestrasi oleh para elite politik maupun oleh entitas politik lainnya.
Imron Wasi, Dosen Ilmu Pemerintahan di Universitas Pamulang, Kota Serang.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Menciptakan Ketertiban Politik
20 jam lalu
Sekitar Legitimasi Pejabat Sementara Kepala Daerah
Rabu, 18 Mei 2022 12:55 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler